Selasa, 13 Desember 2011

cerita pemicuan dalam gambar

(saatnya berubah)- Inilah beberapa bambar dari kegiatan PAMSIMAS di desa Gumawang Kecamatan Pecalungan Kabupaten Batang.

Gambar pertama diambil ketika sanitarian Puskesmas pecalungan bersama bidan desa dan kader kesehatan jalan-jalan melihat beberapa saluran irigasi yang biasa menjadi tempat ibu-ibu mencuci perabot dapurnya. Entah apa yang sedang ddilakukan oleh ibu yang satu ini, ketika ditanya, ibu ini mengatakan sedang mencari ikan, tapi di tangan beliau ada baki kecil, juga ada ember dan beberapa perabotan dapur lainnya. mudah-mudahan ibu yang satu ini bebar-benar hanya sedang mencari ikan, bukan sedang cuci perabot dapur.

Gambar kedua dan ketiga adalah mbah Murip sedang berpose bersama wc barunya. Mbah Murip adalah salah satu warga yang terpicu saat dilaksanakan kegiatan pemicuan CLTS di RTnya. Beliau adalah orang pertama yang langsung membangun jamban keluarga setelah pemicun clts.
Ada cerita lucu dibalik pembuatan WC oleh mbah Murip ini, ternyata beliau membangun jamban keluarga bukan  semata-mata karena hasil pemicuan yang dilakukan, melainkan karena diancam oleh menantu perempuannya. Menantunya ini tidak akan tinggal di rumah mbah Murip selama belum ada WC di rumah, dan ancaman ini ternyata manjur. Mau tidak mau akhirnya mbah murip membangun sebuah jamban lengkap dengan kamar mandinya.

Jadi pelajaran bagi para sanitarian, efektif juga untuk melakukan pemicuan CLTS kepada masyarakat usia muda, pasangan muda yang tentu suatu saat nanti akan menjadi pengambil keputusan dalam keluarga mereka agar mereka merubah perilaku BABS. Jadi sasaran pemicuan tidak hanya kepala keluarga saja, tapi orang-orang yang dapat mempengaruhi sebuah keluarga. SAATNYA KITA BERUBAH, Contohlah mbah Murip. saya yakin keluarganya tambah sejahtera sekarang. tak perlu lari jauh untuk sekedar buang air besar. mbah murippun bahagia karena bersama menantu dan cucu tercinta

Rabu, 31 Agustus 2011

KOIN UNTUK PEMBANGUNAN SEJUTA JAMBAN, kenapa tidak

Salah satu masalah kesehatan lingkungan di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat kepemilikan dan akses keluarga terhadap sarana pembuangan tinja alias jamban keluarga. mungkin cakupan kepemilikan jamban di banyak daerah masih pada kisaran 50% dari seluruh rumah tangga yang ada. Ini sungguh memprihatinkan karena  pola pembuangan tinja sangat berhubungan dengan penularan berbagai macam penyakit.
Ketika para sanitarian gencar mempromosikan buang air besar yang sehat, ada teman yang nyeletuk " Hari gini ngomongin jamban?" ya, ketika banyak negara membahas pengembangan teknologi tinggi, ternyata negara kita tercinta masih saja belum dapat membebaskan rakyatnya dari kebiasaan buang air besar sembarangan.
Tapi itulah kenyataan yang ada. Masih banyak keluarga yang buang air besar di kali dengan berbagai alasan. Karena kebiasaanlah, ekonomi dan lain-lain.Tapi yang jelas Indonesia dikaruniakan sumber daya air yang melimpah (walaupun sekarang sering kekeringan), sungai yang banyak dan masyarakat terbiasa memanfaatkannya untuk dijadikan sarana buang air besar.
Melalui program (atau proyek?) PAMSIMAS, pemerintah mencoba menggugah masyarakat untuk berubah. Target bebas buang air besar sembarangan di desa sasaran program Pamsimaspun telah dicanangkan. Pemicuan telah dilakukan terhadap keluarga di daerah program pamsimas. banyak bahkan sebagian besar masyarakat telah berniat dan berkeinginan untuk membangun sarana pembuangan kotoran alias jamban keluarga tersebut, tapi banyak juga yang tidak dapat menindaklanjuti dengan membuat jamban sederhana sehat karena alassan ketiadaan dana dan niat yang kurang bulat, sementara dalam pemicuan, peran pemerintah bukan sebagai pemberi dana. Praktis selama program Pamsimas berlangsung, target perubahan perilaku masyarakat masih jauh dari tercapai.
Tiba-tiba saya teringat dengan berbagai gerakan pengumpulan dana masyarakat  yang dilakukan oleh berbagai kalangan ketika pemerintah dianggap kurang peka/ peduli. Masih ingat dengan koin untuk prita? atau koin untuk para TKI yang terlantar di Arab saudi, atau yang masih hangat adalah bantuan untuk  ibu Darsem yang banyak menimbulkan polemik.
Bisakah hal semacam itu diterapkan dalam mengatasi masalah jamban keluarga. Saya membayangkan  ketika 1000 orang menyumbang Rp 1000,-  maka akan terkumpul  1juta dan itu bisa untuk membangun jamban keluarga sederhana sehat sebanyak 3 sampai 4 buah. dan jika itu dilakukan 1 minggu sekali, maka dalam 1 bulan akan terbangun 12 sampai 16 jamban dan jika masyarakat yang berpartisipasi berpuluh-puluh ribu atau bahkan beratus-ratus ribu, maka dalam 1 tahun insyaalloh sebuah kabupaten akan bebas dari buang air besar sembarangan.
Khayalan saya yang lain adalah ketika seorang bupati memiliki komitmen pada pembangunan kesehatan lingkungan, kemudian menggulirkan gerakan PNS membangun sejuta jamban yang didukung oleh semua pegawai, dilanjutkan dengan pengumpulan dana sukarela pegawai setiap bulan (cukup Rp.1000 saja), mungkin dalam 2 tahun bupati tersebut menjadi bupati yang dapat mewujudkan kabupaten yang dipimpinnya menjadi Kabupaten bebas buang air besar sembarangan.
jadi, bagaimana menurut anda? bisakah khayalan saya menjadi kenyataan?






Rabu, 17 Agustus 2011

susahnya jadi sanitarian puskesmas

ngajak orang buang air besar di jamban, ngajak orang buat tempat sampah, udah biasa. Tapi akankan MEREKA TINDAK LANJUTI ? TERNYATA SUSAH JADI SANITARIAN. BENER-BENER SUSAH.
Saluran air mengalir sepanjang tahun ditengah desa, lahan kebun kosong masih luas, mereka bisa aktif bekerja walaupun hidup tak berPHBS. Kenapa besti repot-repot berubah, itu kata mereka. memang susah